Diskusi di UNIKMA, Guru Gembul dan Prof Aziz Sorot Wajah Pesantren Dulu dan Sekarang (Foto: Humas Unikma Cilacap) 
CILACAP - Kreator konten Guru Gembul dan Prof. Dr. Fathul Aminudin Aziz, MM memberikan pandangan kritis dan reflektif dalam Diskusi Hari Santri Nasional 2025 bertema ‘Warna-Warni Pesantren dan Iramanya’ yang digelar di Universitas Komputama (UNIKMA) Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (30/10/2025).
Diskusi di UNIKMA, Guru Gembul dan Prof Aziz Sorot Wajah Pesantren Dulu dan Sekarang (Foto: Humas Unikma Cilacap) 
Dalam diskusi yang dipandu rektor UNIKMA, Dr Fikria Najitama, M.S.I, keduanya mengulas secara mendalam tentang posisi pesantren dalam sejarah Indonesia, tantangan modernisasi, hingga peran pemerintah terhadap lembaga pendidikan Islam.
Guru Gembul mengungkapkan, pesantren merupakan tonggak awal lahirnya masyarakat literasi di Indonesia. Ia mengutip teori sejarawan MC Ricklefs yang menyebutkan bahwa kedatangan Islam menandai era modern karena membuka akses baca tulis bagi semua kalangan.
“Pesantren adalah lembaga pertama yang memberikan kesempatan belajar bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kasta atau agama,” ujarnya.
Menurut dia, pesantren masa awal berperan besar dalam membangun peradaban bangsa. Dari Gresik hingga Cirebon, pesantren menjadi pusat dakwah, pengobatan, dan pengembangan masyarakat. Namun kini, Guru Gembul menilai semangat itu mulai luntur.
Namun, Guru Gembul juga mengkritik tajam sebagian pesantren masa kini yang dinilainya menyimpang dari semangat awal. Ia menyoroti fenomena pesantren yang ‘mengemis’ di media sosial dengan menampilkan kondisi memprihatinkan demi donasi.
“Dulu pesantren memberi kontribusi. Sekarang ada yang malah meminta. Itu penyimpangan dari jati diri pesantren sebagai lembaga yang membangun kemandirian umat,” tegasnya.
Kritik tersebut, diakui Guru Gembul, membuatnya sempat diboikot dan bahkan mendapat ancaman. Meski demikian, ia menegaskan kecintaannya terhadap pesantren. “Saya bukan benci pesantren. Saya mencintainya. Tapi saya tak ingin pesantren dirusak oleh oknum yang mengatasnamakan agama demi keuntungan pribadi,” ucapnya di hadapan peserta diskusi.
Guru Gembul kemudian mencontohkan pesantren yang bisa menjadi gambaran ideal pesantren, yakni El-Bayan dan El-Muslim di Cilacap yang ia nilai masih menjaga nilai luhur gotong royong dan kemandirian ekonomi. Ia menyebut pesantren tersebut memiliki perkebunan durian yang memberi dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar.
“Inilah pesantren yang nyata. Pesantren yang berdampak sosial, menurunkan angka kriminalitas di sekitarnya, dan menginspirasi masyarakat untuk mandiri,” ungkapnya.
Ketimpangan Struktural
Sementara, Prof. Dr. Fathul Aminudin Aziz, Dewan Penyelenggara UNIKMA menyoroti faktor struktural di balik kemunduran pesantren. Ia menilai lemahnya peran negara menjadi akar persoalan utama.
“Kalau pondok pesantren asli masih meminta-minta di jalan, berarti peran pemerintah belum maksimal. Negara belum benar-benar menjalankan amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat,” kata Prof Aziz. 
Prof. Aziz juga menyoroti ketimpangan alokasi anggaran dan birokrasi pendidikan yang meminggirkan pesantren. Ia menegaskan bahwa pesantren seharusnya menjadi lembaga paling dihormati karena hadir lebih dulu daripada negara.
“Kenyataannya, pesantren hanya ditempelkan pada Kementerian Agama, bahkan satu fakultas di perguruan tinggi bisa lebih besar anggarannya daripada seluruh pesantren,” ungkapnya dengan nada kritis.
Di lain sisi, Prof Aziz pesantren harus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai tradisi. Guru Gembul menyebut pesantren sejati adalah yang berdampak pada masyarakat sekitar, mendorong kemandirian ekonomi dan moral. Sementara Prof. Amin menekankan pentingnya pendekatan baru berbasis seni, teknologi, dan intelektualitas. 
“Pesantren harus berani membuka akalnya. Kalau dunia sudah menafsirkan Al-Qur’an dengan kecerdasan buatan, maka kita jangan tertinggal,” jelasnya.
Prof. Amin juga memaparkan karyanya, kitab Jauharul Idarah, sebagai upaya mendorong kemampuan berpikir kritis di kalangan santri. Ia berharap pesantren mampu menyeimbangkan antara tradisi, akal, dan iman.
“Boleh tradisi dijaga, tapi akal jangan berhenti bergerak. Santri boleh ngesot, asal pikirannya tidak ikut diam,” ucapnya disambut tawa peserta.
Prof. Aziz menambahkan perbedaan pandangan harus disinergikan, bukan dipertentangkan. Dari konflik dan dialektika, harapannya justu akan lahir kemajuan baru bagi pesantren dan bangsa.(Marnoto) 
Sumber: Humas Unikma Cilacap


Posting Komentar